-
ISLAMIC FILES (video-mp3-doc-pdf-etc)
KURSUS LIVE VIDEO
Selasa, 16 Maret 2010
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
Fiqh Indonesia: Tema Pemikiran Hukum Islam Hasbi Ash Shiddieqy (1905-1975 M)
Ditinjau dari sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam sebelum kemerdekaan, berbagai cara telah dilakukan oleh setiap pemikir Muslim Indonesia untuk memadukan antara budaya dan hukum Islam itu sendiri. Mereka telah mencoba untuk melakukan hal tersebut pada fase awal sejarah negara kita. Salah satu dari para pemikir Muslim tersebut adalah Hasbi Ash Shiddieqy, seorang pemikir besar di masanya, yang telah menyumbangkan gagasan yang mencerahkan dan kontroversial di kalangan umat Islam. Maka, dalam makalah ini akan dibahas biografi singkatnya dan pemikiran pembaruannya.
Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Ia dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada tanggal 10 Maret 1904 di tengah keluarga pejabat. Ada beberapa hal yang menarik pada dirinya. Pertama, ia adalah seorang otodidak. Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah. Dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926).
Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun, Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu, ia dimusuhi, ditawan, dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang yang berasal dari organisasi-organisasi masyarakat lain seperti Muhammadiyah dan Persis, padahal ia adalah anggota dari kedua perserikatan itu.
Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi sejak tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh (al-fiqh) yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini sempat mengundang sentakan dari sebagian ulama di Indonesia. Namun, ia tidak pernah menyerah untuk terus menuangkan pemikiran-pemikiran yang mencerahkan ke dalam karya-karyanya.[1]
Pemikiran Pembaruan Hasbi Ash Shiddieqy
Pada masa awal persiapan kemerdekaan Republik Indonesia, perbincangan tentang hukum Islam dari aspek fiqh semakin surut karena semua umat Islam disibukkan dengan pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, kesibukkan tersebut tidak pernah membuat Hasbi ikut terlena untuk melupakan agenda pembaruan hukum Islam di Indonesia kendatipun banyak para pembaru Muslim di masanya yang mendirikan organisasi-organisasi kemsyarakatan (Ormas).
Berdasarkan hal tersebut, wacana yang dikembangkan dalam pemikiran keislaman menjadi kurang empiris dan mengakibatkan terbengkalainya sederet nomenklatur permasalahan sosial-politik yang terjadi di masyarakat, yang telah menggerakkan Soekarno untuk ikut memberikan kritik terhadap kerangka pikir yang selama ini dipakai oleh para ulama. Kungkungan pola pikir para ulama yang berpacu pada fahm-u ‘l-‘ilm li ‘l-inqiyâd ketika memahami doktrin hukum Islam yang terdapat di dalam khazanah literatur klasik membuat eksistensi hukum Islam tampak resisten, tidak mampu mematrik diri, dan sebagai konsekuensinya ia menjadi panacea bagi persoalan sosial-politik. Para ulama secara umum telah melupakan sejarah dan menganggap bahwa mepelajari sejarah tidaklah begitu penting sehingga kritik atas dimensi ini menjadi tidak ada. Dengan semikian, pandangan mereka terhadap fiqh adalah sebagai kebenaran ortodoksi mutlak, yang absolutitasnya menegasikan kritik dan pengembangan, dan bukan sebagai pemikiran yang yang bersifat nisbi, yang membutuhkan kritik dan pengembangan. Maka, perlulah sebuah pemikiran dan pandangan baru yang dapat menggeser paradigma dari pola fahm-u ‘l-‘ilm li ‘l-inqiyâd ke pola fahm-u ‘ilm li ‘l-intiqâd.[2]
Dari titik berangkat kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran fiqh Indonesia hadir, ia terus mengalir dan disosialisasikan oleh Hasbi. Menurutnya, hukum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang dari mu‘âmalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu hadir dan bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Para ulama (lokal) dituntut untuk memiliki kepekaan terhadap kebaikan (sense of mashlahah) yang tinggi dan kreatifitas yang penuh dengan tanggung jawab dalam upaya merumuskan alternatif fiqh baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya.
Nalar pemikiran yang digunakan oleh Hasbi dengan gagasan fiqh Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam sebenarnya memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru.[3] Menurutnya, hingga tahun 1961, salah satu faktor yang menjadi penghambat adalah adanya ikatan emosional yang begitu kuat (fanatik, ta‘ashshub) terhadap madzhab yang dianut oleh umat Islam. Dan untuk membentuk fiqh baru ala Indonesia, diperlukan kesadaran dan kearifan lokal yang tinggi dari banyak pihak, terutama ketika harus melewati langkah pertama, yaitu melakukan refleksi historis atas pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik jika ia sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Yakni, hukum yang dibentuk oleh keadaan lingkungan atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat (adat dan ‘urf), bukan dengan memaksakan format hukum Islam yang terbangun dari satu konteks tertentu kepada konteks ruang dan waktu baru.[4] Maka, kita dapat menyimpulkan bahwa ide fiqh Indonesia yang telah dirintis olehnya berlandaskan pada konsep bahwa hukum Islam (fiqh) yang diberlakukan untuk umat Islam Indonesia adalah hukum Islam yang sesuai dan memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia, selama itu tidak bertentangan syari’at.
Dalam pandangan Hasbi, pemikiran hukum Islam harus berpijak pada prinsip mashlahah mursalah, keadilan, kemanfaatan, serta sadd-u ‘l-zarî‘ah. Semua prinsip itu, merupakan prinsip gabungan dari setiap madzhab. Maka, untuk memberikan pemahaman yang baik, ia menawarkan metode analogi-deduktif – satu model istinbâth hukum yang pernah dipakai oleh Imam Abû Hanîfah – untuk membahas satu permasalahan yang tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam khazanah pemikiran klasik. Dengan demikian, untuk memudahkan penerapan metode di atas, ia menggunakan pendekatan sosial-kultural-historis dalam segala proses pengkajian dan penemuan hukum Islam.
Salah satu contoh kasus, adalah perdebatan Hasbi dengan A. Hasan tentang boleh tidaknya jabat tangan antara laki-laki dan perempuan. Terlepas dari tidak adanya dalil pasti dan alasan yang rasional tentang pengharaman jabatan tangan antara laki-laki dan perempuan maka ia berpendapat bahwa tradisi jabat tangan antara laki-laki dan perempuan bukan sesuatu yang berbahaya untuk dilakukan.[5]
Penutup
Pemikiran pembaruan yang telah digagas oleh Hasbi Ash Shiddieqy patut untuk kita renungkan dalam membina masa depan umat Islam di Indonesia. Gagasan fiqh Indonesia yang telah ditawarkannya adalah fiqh konteksual, tidak anakronistik, dan sesuai dengan tuntutan zaman.
____________
[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Cetakan Kedua (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 241-2.
[2] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 63-4.
[3] Ibid., hlm. 65-6.
[4] Ibid., hlm. 67-8.
[5] Ibid., hlm. 69-71.
Posted by Dida at 8:01 PM
HASBI ASH-SHIDDIEQY
(Lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 – Wafat di Jakarta, 9 Desember 1975). Seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqih dan usul fiqih, tafsir, dan ilmu kalam.
Ayahnya, Teungku Qadli Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren (meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz. Putri seorang Qadli Kesultanan Aceh Ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi Ash- Shiddieqy adalah keturunan Abubakar ash- Shiddieq (573-13 H/634 M), khalifah pertama. Ia sebagai generasi ke- 37 dari khalifah tersebut meletakkan gelar ash- Shiddieqy di belakang namanya.
Pendidikan Agamanya di awali di dayah ( pesentren)milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain. Pengetahuan bahasa Arabnya diperoleh dari Syeh Muhammad Ibnu Salim Al Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabayadan melanjutkan pendidikan di Madrasah al- Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati ( 1874- 1943),ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran moderen ketika itu. Di sini ia mengambil pelajaran Takhassus (spesialis)dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun. Al- Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang moderen sehingga, setelah kembali ke Aceh. Hasbi ash- Shiddieqy langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.
Pada Zaman demokrsi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Majelis Suryono Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstintuante.
Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidkan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatannya ini di pegangnya hingga tahun1972. Kedalam pengetahuan keislamannya dan pengakuan ketokohannya sebagai ulama terlihat dari beberapa gelar doktor (Honoris Causa) yang diterimanya, seperti dari Universistas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada 29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan Kalijaga.
Hasbi Ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentangfiqih (36 judul). Bidang- bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam ; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.
Pemikiran
Seperti halnya ulama lain, Hasbi Ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syari’at Islam sifat dinamis dan eletis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat,. Ruang lingkupnya.mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama maupun dengan Tuhannya. Syari’at Islam yang bersumber dari Wahyu Allah SWT., ini kemudian di pahami oleh umat islam melalui metode.ijtihad untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh. Yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid pendiri mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy- Syafi’I dan Ahmad Hanbal.
Akan tetapi menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, banyak umat islam, kususnya di Indonesia, yang tidak membedakan antara syari’at yang berlangsung berasal dari Allah Swt, dan fiqih yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap syari’at tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa Islam Indonesia cenderung menganggap fiqih sebagai syari’at yang berlaku absolute. Akibatnya, kitab-kitab fiqih yang ditulis imam-imam mazhab dipandang sebagai sumber syari’at, walaupu terkadang relefansi pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian., karma hasil ijtihat mereka tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial budaya serta lingkungan geografis mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat kita sekarang.
Menurutnya, hukum fiqih yang di anut oleh masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan bangsa Indonesia. Mereka cenderung memeksakan keberlakuan fiqih imam-imam mazhab tersebut. Sebagai alternative terhadap sikap tersebut, ia mengajukan gagasan perumusan kembali fiqih Islam yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya, umat islam harus dapat menciptakan hukum fiqih yang sesuai latar belakang susiokultur dan lerigi masyarakat Indonesia. Namun begitu , hasil ijtihat ulama masa lalu
Bukan berarti harus dibuang sama sekali, melainkan harus diteliti dan di pelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatic. Dengan demikian, pendapat ulama dari mazhab manapun, asal sesuai dan relefan dengan situasi masyarakat Indonesia, dapat diterima dan diterapkan.
Untuk usaha ini, ulama harus mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Hasbi ash-Shiddieqy menolak pandangan bahwa pintu ijtihat telah tertutup, karna ijtihat adalah suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan dari masa ke masa. Menurutnya, untuk menuju fiqih Islam yang berwawasan ke Indonesia, ada tiga bentuk ijtihat yang perlu dilakukan.
Pertama. Ijtihat dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk ulama masa lalu. Ini dimaksudkan agar dapat dipilih pendapat yang masih cocok untuk diterapkan dalam masyarakat kita.
Kedua ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat dimana hukum itu berkembang.hukum ini, menurutnya, berubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan masyarakat.
Ketiga ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap dengan masalah kontemporer yang timbul sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan teknologi, seperti transplatsi organ tubuh, bank, asuransi,bank, air susu ibu, dan inseminasi buatan.
Karena kompleksnya permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan peradaban, maka pendekatan yang dilakukan untuk mengatasinya tidak bisa terpilah-pilah pada bidang tertentu saja. Permasalahan ekonomi, umpamanya, akan berdampak pula pada aspek-aspek lain. Oleh karna itu menurutnya ijtihat tidak dapat terlaksana dengan efektif kalau dilakukan oleh pribadi-pribadi saja. Hasbi Ash-Shiddieqy menawarkan gagasan ijtihad jama’I (ijtihat kolektif).anggotanya tidak hanya dari kalangan ulama, tetapi juga dari berbagai kalangan muslim lainnya, seperti ekonom, dokter, budayawan, dan politikus, yang mempunyai fisi dan wawasan terhadap permasalahan umat Islam, masing-masing mereka yang duduk dalam lembaga ijtihad kolektif ini berusaha memberikan kontribusi pemikiran sesua dengan keahlian dan disiplin ilmunya. Dengan demikian rumusan ijtihad yang diputuskan oleh lembaga ini lebih mendekati kebenaran dan jauh lebih sesuai dengan tuntutan situasi dan kemaslahatan masyarakat. Dalam gagasan masyarakat ini ia memandang urgensi metodologi pengambilan dan penetapan hukum ( istinbath ) yang telah dirumuskan oleh ulama seperti Qias, Istihsan, maslahah mursalah (maslahat)dan urf.
Lewat ijtihad kolektif ini umat Islam Indonesia dapat merumuskan sendiri fikih yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.rumusan fikih tersebut tidak harus terikat pada salah satu mazhab, merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Dan memang menurutnya hukum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat istiadat, dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Hasbi Ash-Shiddieqy bahkan menegaskan bahwa dalam sejarahnya banyak kitab fiqih yang di tulis oleh ulama yang mengacu pada adat istiadat ( urf) suatu daerah. Contoh paling tepat dalam hal ini adalah pendapat imam Asy-Syafi’I yang berubah sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya. Pendapatnya ketika masih di Irak(Qaul Qadim/pendapat lama) sering berubah ketika dia berada di Mesir ( Qaul Jadid/pendapat baru) karna perbedaan lingkungan adat-istiadat kedua daerah.
Selain pemikiran diatas, ia juga melakukan ijtihat untuk menjawab permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat. Dalam persoalan zakat, umpamanya, pemikiran ijtihat hasbi Ash- Shiddieqy tergolong dan maju.secara umum ia sependapat dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa yang menjadi objek zakat adalah harta, bukan orang. Oleh karn aitu, dari harta anak kecil yang belum mukallaf yang telah sampai nisabnya wajib di keluarkan zakatnya oleh walinya.
Hasbi Ash-shiddieqy memandang bahwa zakat adalah ibadah sosial yang bertujuan untuk menjembatani jurang antara yang kaya dan yang miskin. Oleh sebab itu ia berpendapat bahwa zakat dapat dipungut dari non muslim( kafir kitabi) untuk diserahkan kembali demi kepentingan mereka sendiri. Ia mendasarkan pendapatnya pada keputusan Umar ibn Al-Khaththab (581-544 M. ), Khalifah kedua setelah nabi Muhammad saw. Wafat, untuk memberikan zakat kepada kaum zimmi atau ahluzzimmah (orang-orang non muslim yang bertempat tinggal di wilayah Negara Islam) yang sudah tua dan miskin. Umar juga memungut zakat dari Nasrani Bani Tughlab. Pendapat ini dilandasi oleh prinsip pembinaan kesejahteraan bersama dalam suatu Negara tanpa memandang agama dan golongannya.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, karna fungsi sosial zakat adalah untuk mengentaskan kemiskinan, maka prinsip keadilan haruslah di utamakan dalam pemungutan zakat. Ia berpendapat bahwa standarisasi ukuran nisab sebagai syarat wajib perlu ditinjau ulang. Ia memahami ukuran nisab tidak secara tektual, yaitu sebagai symbol-simbol bilangan yang kaku.ia mendasarkan bahwa nisab zakatmemang telah diatur dan tidak dapat diubah menurut perkembangan zaman. Akan tetapi, standar nisab ini harus di ukur dengan emas, yaitu 20 miskal atau 90 gram emas. Menurutnya, emas dijadikan standar nisab karena nilanya stabil dengan alat tukar.
Sejalan dengan tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, ia memandang bahwa pemerintah sebagai ulil-amri ( penguasa pemerintahan di Negara Islam) dapat mengambil zakat secara paksa terhadap orang yang enggan membayarnya.Ia juga berpendapat bahwa pemerintah hendaknya membentuk sebuah dewan zakat ( baitul mal) untuk mengkoordinasi dan mengatur pengeloalaan zakat. Dewan ini haruslah berdiri sendiri, tidak dimasukkan Departemen Keuangan atau perbendaharaan Negara. Karna pentingnya masalah zakat ini, ia mengusulkan agar pengaturannya dituang dalam bentuk undang-undang yang mempunyai kekuatan hukum.
Karya
Diantara karya-karya unggulan almarhum adalah :
Tafsir dan ilmu Al Quran:
1. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-nuur
2. Ilmu-ilmu Al-Qur’an
3. Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir
4. Tafsir Al Bayan
Hadist :
1. Mutiara Hadist ( jilid I-VIII)
2. Sejarah dan pengantar ilmu hadist
3. pokok-pokok ilmu dirayah hadist (I-II)
4. koleksi hadist-hadist hukum (I-IX)
Fiqh :
1. Hukum-hukum fiqih islam
2. Pengantar ilmu fiqih
3. pengantar hukum islam
4. pengantar fiqih muamalah
5. fiqih mawaris
6. pedoman shalat
7. pedoman zakat
8. pedoman puasa
9. pedoman haji
10. peradilan dan hukum acara islam
11. interaksi fiqih islam dengan syari’at agama lain ( hukum antar golongan)
12. Kuliah ibadah
13. pidana mati dalam syari’at islam
Umum :
1. Al Islam ( Jilid I-II)
Created Ridwan Yayasan Tgk. M. Hasbi Ash Shiddieqy di 22:05
Sumber: http://yayasanhasbi.blogspot.com & http://darul-ulum.blogspot.com
http://subhan-nurdin.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar